Saturday 15 June 2013

Sistem Pengolahan Limbah Padat dan limbah Cair Rumah Sakit

Teknologi pengolahan Limbah Padat Rumah Sakit

Konsep pengelolaan lingkungan yang memandang pengelolaan lingkungan sebagai sebuah sistem dengan berbagai proses manajemen didalamnya yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan (Environment Management System), melalui pendekatan ini, pengelolaan lingkungan tidak hanya meliputi bagaimana cara mengolah limbah sebagai by product (output), tetapi juga mengembangkan strategi-strategi manajemen dengan pendekatan sistematis untuk meminimasi limbah dari sumbernya dan meningkatkan efisiensi pemakaian sumber daya sehingga mampu mencegah pencemaran dan meningkatkan performa lingkungan. Hal ini berarti menghemat biaya untuk remediasi pencemaran lingkungan ( Adisasmito, 2007).



Ada beberapa konsep tentang pengelolaan lingkungan sebagai berikut :
  1. Reduksi limbah pada sumbernya (source reduction)
  2. Minimisasi limbah
  3. Produksi bersih dan teknologi bersih
  4. Pengelolaan kualitas lingkungan menyeluruh (total quality environmental management/TQEM)
  5. Continous quality improvement (CQI)

Penanganan dan penampungan limbah meliputi hal-hal sebagai berikut :
  1. Pemisahan dan pengurangan. Limbah dipilah-pilah dengan mempertimbangkan hal-hal yaitu kelancaran penanganan dan penampungan, pengurangan jumlah limbah yang memerlukan perlakuan khusus, dengan pemisahan limbah B3 dan non B3, diusahakan sedapat mungkin menggunakan bahan kimia non B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis limbah untuk mengurangi biaya, tenaga kerja, dan pembuangan, pemisahan limbah berbahaya dari semua limbah pada tempat penghasil limbah akan mengurangi kemungkinan kesalahan petugas dan penanganan.
  2. Penampungan. Sarana penampungan harus memadai, diletakkan pada tempat yang pas, aman, dan higienis. Pemadatan merupakan cara yang paling efisien dalam penyimpanan limbah yang bisa dibuang dan ditimbun. Namun tidak boleh dilakukan untuk limbah infeksius dan benda tajam.
  3. Pemisahan limbah. Untuk memudahkan pengenalan jenis limbah adalah dengan cara menggunakan kantong berkode (umumnya dengan kode berwarna). Kode berwarna yaitu kantong warna hitam untuk limbah domestik atau limbah rumah tangga biasa, kantong kuning untuk semua jenis limbah yang akan dibakar (limbah infeksius), kuning dengan strip hitam untuk jenis limbah yang sebaiknya dibakar tetapi bisa juga dibuang ke sanitary landfill bila dilakukan pengumpulan terpisah dan pengaturan pembuangan, biru muda atau transparan dengan strip biru tua untuk limbah autoclaving (pengolahan sejenis) sebelum pembuangan akhir.




Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengolahan limbah klinis adalah sebagai berikut :

  1. Penghasil limbah klinis dan yang sejenis harus menjamin keamanan dalam memilah-milah jenis sampah, pengemasan, pemberian label, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan
  2. Penghasil limbah klinis hendaknya mengembangkan dan secara periodik meninjau kembali strategi pengolahan limbah secara menyeluruh
  3. Menekan produksi sampah hendaknya menjadi bagian integral dari strategi pengelolaan
  4. Pemisahan sampah sesuai sifat dan jenisnya adalah langkah awal prosedur pembuangan yang benar
  5. Limbah radioaktif harus diamanakan dan dibuang sesuai dengan peraturan yang berlaku oleh instansi berwenang
  6. Incinerator adalah metode pembuangan yang hanya disarankan untuk limbah tajam, infeksius, dan jaringan tubuh
  7. Incinerator dengan suhu tinggi disarankan untuk memusnahakan limbah citotoksis (110°C)
  8. Incinerator harus digunakan dan dipelihara sesuai dengan spesifikasi desain. Mutu emisi udara harus dipantau dalam rangka menghindari pencemaran udara.
  9. Sanittary landfill mungkin diperlukan dalam keadaan tertentu bila sarana incinerator tidak mencukupi


Penanganan Limbah di Sumber Limbah


Menurut Wiku Adisasmito (2007), rumah sakit mempunyai berbagai cara dalam mengolah limbah, namun hal ini membawa konsekuensi besarnya biaya pengadaan dan operasional yang harus dikeluarkan. Adapun saran pengolahan limbah padat tersebut adalah melalui pewadahan dan pemilahan pada sumber, pengumpulan, pemindahan pada trolli bak pengangkut sampah, pengangkutan, pemilahan, pemotongan, pengolahan, dan pembuangan akhir.


Salah satu langkah pokok pengolahan limbah adalah menentukan jumlah limbah yang dihasilkan. Jumlah ini memnentukan jumlah dan volume sarana penampung lokal yang harus disediakan, pemilihan incinerator dan kapasitasnya.


1. Jumlah menurut berat


Jumlah produksi sampah domestik diperkirakan 2 Kg per orang per hari. Untuk mendapatkan angka yang lebih tepat sebaiknya dilakukan survei sampah di rumah sakit yang bersangkutan. Jumlah sampah dengan 500 tempat tidur adalah 3,25 Kg per pasien per hari (Depkes RI, 2002).


2. Jumlah disposibel


Meningkatkan jumlah sampah berkaitan erat dengan meningkatkan penggunaan barang disposibel. Daftar barang disposibel merupakan indicator jumlah dan kualitas sampah rumah sakit yang diproduksi. Berat, ukuran, dan sifat kimiawi barang-barang disposibel mungkin perlu dipelajari sehingga dapat diperoleh informasi yang bermanfaat dalam pengelolaan sampah (Depkes RI, 2002).


3. Jumlah menurut volume


Volume juga harus diketahui untuk menentukan ukuran bak dan sarana pengangkutan. Konversi dari berat ke volume dapat dilakukan dengan membagi berat total dengan kepadatan (Depkes RI, 2002).


Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengurangi limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah.


Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan pertama kali karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi terjadinya limbah yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah pada sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber pencemar, hal ini banyak memberikan keuntungan yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta mengurangi biaya pengolahan limbah dan pelaksanaannya relatif murah. Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah:
  1. Penanganan yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam menjaga kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin.
  2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut jenis komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume, atau mengurangi biaya pengolahan limbah.
  3. Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat atau bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan.
  4. Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan sehiugga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
  5. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
  6. Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang kurang potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya (Adisasmito, 2007).


Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di seluruh rumah sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
  2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik.
  3. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.


Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut:


1. Pemisahan limbah
  • Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
  • Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas
  • Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang.


2. Penyimpanan limbah
  • Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas
  • Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
  • Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai
  • Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya

 3. Penanganan limbah
  • Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup
  • Kantung dipegang pada lehernya
  • Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut
  • Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)
  • Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di dalma kantung yang salah
  • Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah


Pengangkutan limbah Padat


Kantung limbah dikumpulkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.


Kereta atau troli yang digunakan untuk transportasi sampah medis harus didesain sedemikian sehingga:
  1. Permukaan harus licin, rata dan tidak mudah tembus
  2. Tidak menjadi sarang serangga
  3. Mudah dibersihkan dan dikeringkan
  4. Sampah tidak menempel pada alat angkut
  5. Sampah mudah diisikan, diikat dan dituang kembali


Dalam beberapa hal dimana tidak tersedia sarana setempat, sampah medis harus diangkut ketempat lain:
  • Harus disediakan bak terpisah dari sampah biasa dalam alat truk pengangkut, dan harus dilakukan upaya untuk mencegah kontaminasi sampah lain yang dibawa.
  • Harus dapat dijamin bahwa sampah dalam keadaan aman dan tidak terjadi kebocoran atau tumpah.


Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan internal dan eksternal. Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan atau ke insinerator (pengolahan on-site). Dalam pengangkutan internal biasanya digunakan kereta dorong , dan dibersihkan secara berkala serta petugas pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus. Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ketempat pembuangan di luar (off-site). Pengangkutan eksternal memerlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan lokal. Sampah medis diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan tidak bocor (Hapsari, 2010).


Sampah medis hendaknya diangkut sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan. Sementara menunggu pengangkutan untuk dibawa ke insinerator, atau pengangkutan oleh Dinas Kesehatan hendaknya :
  1. Disimpan dalam kontainer yang memenuhi syarat.
  2. Ditempatkan dilokasi yang strategis, merata dengan ukuran disesuaikan dengan frekuensi pengumpulannya dengan kantong berkode warna yang telah ditentukan secara terpisah.
  3. Diletakkan pada tempat kering/mudah dikeringkan, lantai tidak rembes, dan disediakan sarana pencuci.
  4. Aman dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dari binatang dan bebas dari infestasi serangga dan tikus.
  5. Terjangkau oleh kendaraan pengumpulan sampah (Depkes RI, 2002).


Petugas penanganan limbah harus menggunakan alat pelindung diri (APD) yang terdiri dari topi/helm, masker, pelindung mata, pakaian panjang, apron, pelindung kaki/ sepatu boot, dan sarung tangan khusus (Depkes RI, 2004).


Pembuangan dan Pemusnahan Limbah


Setelah dimanfatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk. Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri, insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500ºC atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Arifin, 2007).


Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut:
  1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
  2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.. Tambahkan lapisan kapur. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
  3. Akhirnya lubang tersebut harus ditututup dengan tanah..

Keseragaman standar kantong dan kontainer limbah mempunyai keuntungan sebagai berikut:
  • Mengurangi biaya dan waktu pelatihan staf yang dimutasikan antar instansi/unit.
  • Meningkatkan keamanan secara umum, baik pada pekerjaan di lingkungan rumah sakit maupun pada penanganan limbah diluar rumah sakit.
  • Pengurangan biaya produksi kantong dan container (Hapsari, 2010).


Pelaksanaan pengelolaan limbah medis untuk masing-masing golongan adalah sebagai berikut :


a. Golongan A


1) Dressing bedah yang kotor, swab, dan limbah lain yang terkontaminasi deri ruang pengobatan hendaknya di tampung pada bak penampungan limbah medis/medis yang mudah dijangkau atau bak sampah yang dilengkapi dengan pelapis pada tempat produksi sampah. Kantong pelapis tersebut hendaknya diambil paling sedikit satu hari sekali atau bila tiga perempat penuh. Kemudian diikat dengan kuat sebelum diangkut dan ditampung sementara di bak sampah medis. Bak ini juga hendaknya jadwal pengumpulan sampah. Isi kantong jangan sampai longgar pada saat pengangkutan dari bak ke bak, sampah hendaknya dibuang sebagai berikut:

  •  (a) Sampah dari unit haemodialisis: sampah hendakmya dimusnahkan dengan insinerator. Bisa juga dengan autoclaving tetapi kantong harus dibuka dan dibuat sedemikian sehingga uap panas bisa menembus secara efektif.
  •   (b) Limbah dari unit lain: limbah hendaknya dimusnahkan dengan insinerator. Bila tidak memungkinkan bisa dengan menggunakan cara lain, misalnya dengan membuat sumuran dalam yang aman.


2) Prosedur yang digunakan untuk penyakit infeksi harus disetujui oleh pimpinan yang bertanggung jawab. Kepala Instalasi Sanitasi dan Dinas Kesehatan c/q. Sub Dinas PKL setempat.


3) Semua jaringan tubuh, plasenta dan lain-lain hendaknya ditampung pada bak limbah medis atau kantong lain yang tepat dan kemudian dimusnahkan dengan insinerator. Kecuali bila terpaksa, jaringan tubuh tidak boleh dicampur dengan sampah lain pada saat pengumpulan.


4) Perkakas laboratorium yang terinfeksi hendaknya dimusnahkan dengan insinerator. Insinerator harus dioperasikan dibawah pengawasan bagian sanitasi atau bagian laboratorium.

b. Golongan B



Syringe, jarum dan cartridges hendaknya dibuang dengan keadaan tertutup. Sampah jenis ini hendaknya ditampung dalam bak tahan benda tajam yang bila telah penuh diikat dan ditampung dalam bak sampah medis sebelum diangkut dan dimusnahkan dengan insinerator.

c. Golongan C



Pembuangan sampah medis yang berasal dari Laboratorium patologi kimia, haemotologi, dan transfusi darah, mikrobiologi, histologi dan post-mortum serta unit sejenis (misalnya tempat binatang percobaan disimpan), dibuat dalam kode pencegahan infeksi dalam laboratorium medis dan ruang post-mortum dan publikasi lain.


d. Golongan D


Barang dari produk medis yang baru sebagian digunakan hendaknya dikembalikan kepada petugas yang bertanggung jawab dibagian farmasi.


e. Golongan E


Kecuali yang berasal dari ruang dengan risiko tinggi, isi dari sampah dari golongan ini bisa dibuang melalui saluran air, WC atau unit pembuangan untuk itu. Sampah yang tidak dapat dibuang melalui saluran air hendaknya disimpan dalam bak sampah medis dan dimusnahkan dengan incinerator (Adisasmito, 2007).


Kebijakan pembuangan sampah lokal hendaknya tercantum berbagai prosedur yang digunakan bila terjadi tumpahan sampah medis. Peringatan hendaknya disertakan terutama pada sampah yang dapat membahayakan petugas atau orang-orang yang berkaitan dengan pengankutan/pembuangan sampah atau pembersihan sampah atau kepada masyarakat umum. Prosedur tersebut hendaknya dikonsultasikan dengan unit-unit yang berkaitan seperti unit pemadam kebakaran, kesehatan, polisi, otorita air dan sampah serta Dinas Kesehatan.


Teknik pengolahan sampah medis (medical waste) yang mungkin diterapkan adalah:


    a. Incinerasi.
    b. Sterilisasi dengan uap panas/autoclaving (pada kondisi uap jenuh bersuhu 121 ºC.
    c. Sterilisasi dengan gas (gas yang digunakan berupa ethylene oxide atau formaldehyde).
    d. Desinfeksi zat kimia dengan proses grinding (menggunakan cairan kimia sebagai desinfektan).
    e. Inaktivasi suhu tinggi.
    f. Radiasi (dengan ultraviolet atau ionisasi radiasi seperti Co60).
    g. Microwave treatment.
    h. Grinding and shredding (proses homogenisasi bentuk atau ukuran sampah).
    i. Pemampatan/pemadatan, dengan tujuan untuk mengurangi volume yang terbentuk (Depkes RI, 2006).

Teknologi Pengolahan Limbah Cair



Pengolahan limbah dengan memanfaatkan teknologi pengolahan dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia dan biologis atau gabungan ketiga sistem pengolahan tersebut. Pengolahan limbah cara biologis digolongkan menjadi pengolahan cara aerob dan pengolahan limbah cara anaerob (Ginting, 2007).


Dalam melakukan fungsinya rumah sakit menimbulkan berbagai buangan dan sebagian dari limbah tersebut merupakan limbah yang berbahaya. Sumber air limbah rumah sakit dibagi atas tiga jenis yaitu :


1. Air Limbah Infeksius


Air limbah yang berhubungan dengan tindakan medis seperti pemeriksaan mikrobiologis dari poliklinik, perawatan penyakit menular, dll.


2. Air Limbah Domestik


Air limbah yang tidak berhubungan dengan tindakan medis yaitu berupa air limbah kamar mandi, dapur, dll.


3. Air Limbah Kimia


Air limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, Laboratorium, sterilisasi, riset, dll (Ginting, 2008)


Menurut Adisasmito (2007) dalam buku Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit, Limbah cair rumah sakit terdiri dari limbah cair infeksius dan non infeksius berasal dari kegiatan

  • Pelayanan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) pasien berupa limbah cair dalam kamar mandi dan pencucian peralatan yang digunakan.
  • Laboratorium klinis, berupa air limbah dari pencucian peralatan laboratorium dan sejenisnya.
  • Pengobatan/ perawatan klinis, terutama berasal dari kegiatan pencucian ginjal dan pencucian peralatan.
  • Ruang operasi.
  • Laundry dan pembersihan ruang infeksi.
  • Emergency (Rawat Darurat).
  • Radiologi.


Sifat Limbah yang dibuang ke saluran



Menurut Dirjen PPM & PL serta Pelayanan Medik Depkes RI (2002) dalam Buku Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia, sifat ukuran, fungsi dan kegiatan rumah sakit mempengaruhi kondisi air limbah yang dihasilkan. Secara umum air limbah mengandung buangan pasien, bahan otopsi jaringan hewan yang digunakan di laboratorium, sisa makanan dari dapur, limbah laundry, limbah laboratorium berbagai macam bahan kimia baik toksik maupun non toksik, dan lain-lain. Apabila limbah laboratorium cukup besar (lebih dari 1 pin atau 0,568 liter) disarankan untuk disediakan kontainer khusus atau dilakukan pengolahan khusus.


Pengolahan air limbah dapat menggunakan teknologi pengolahan secara biologis atau gabungan antara proses biologis dengan proses kimia-fisika. Proses secara biologi dapat dilakukan secara aerobik (dengan udara) dan anaerobik (tanpa udara) atau kombinasi aerobik dan anaerobik. Proses biologis biasanya digunakan untuk pengolahan air limbah dengan BOD yang tidak terlalu besar.


1. Pengolahan Biologi Aerobik


Pengolahan limbah secara biologis aerobik dapat dibagi menjadi tiga yaitu :


a) Proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture)


Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan dengan menggunakan aktifitas mikro-organisme untuk menguraikan senyawa polutan yang ada dalam air dan mikro-organime yang digunakan dibiakkan secara tersuspesi di dalam suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara lain : proses lumpur aktif standar/konvesional (standard activated sludge), step aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit) dan lainya (Adisasmito, 2007).


b) Proses biologis dengan biakan melekat (attached culture)


Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah dimana mikro-organisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain : trickling


filter atau biofilter, rotating biological contractor (RBC), contac aeration/oxidation (aerasi kontak) (Adisasmito, 2007).


c) Proses biologis dengan sistem kolam atau lagoon


Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikro-organisme yang tumbuh secara alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat proses penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga dilakukam proses aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization pond). Proses dengan sistem lagoon tersebut kadang-kadang dikategorikan sebagai proses biologis dengan biakan tersuspensi (Adisasmito, 2007).


2. Pengolahan Biologi Anaerobik


Beberapa teknologi pengolahan limbah cair yang sering digunakan di rumah sakit yaitu proses lumpur aktif (active sludge proces), reaktor putar biologis (rotating biological contactor/RBC), proses aerasi kontak, proses pengolahan dengan biofilter “up flow”, dan pengolahan dengan sistem “biofilter anaerob-aerob”. Untuk memilih jenis teknologi atau proses yang akan digunakan untuk pengolahan air limbah, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain : karakteristik air limbah, jumlah limbah serta standar kualitas air olahan yang diharapkan (Adisasmito, 2007).

Pengolahan sekunder dengan Lumpur Aktif (Actived Sludge)



Teknologi pengolahan limbah dengan Activated Sludge (Lumpur Aktif) ini sangat cocok untuk rumah sakit dengan kapasitas yang besar. Karena jika diterapkan untuk rumah sakit dengan kapasitas yang kecil, teknologi ini kurang ekonomis karena biaya yang diperlukan cukup besar. 


Pengolahan dengan sistem Kolam Oksidasi


Sistem kolam oksidasi ini telah dipilih untuk pengolahan air limbah rumah sakit yang terletak ditengah-tengah kota karena tidak memerlukan lahan yang luas.


Kolam Oksidasinya dibuat bulat atau elip dan air limbah dialirkan secara berputar agar ada kesempatan lebih lama berkontak dengan oksigen dari udara (aerasi). Kemudian air limbah dialirkan ke dalam sedimentation tank untuk mengendapkan benda-benda pada dan lumpur lainnya. Selanjutnya air yang sudah nampak jernih dialirkan ke bak klorinasi sebelum dibuang ke dalam sungai atau kebadan air lainnya. Sedangkan lumpur yang mengendap diambil dan dikeringkan pada sludge drying bed.


Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biofilter "Up Flow"


Proses pengolahan air limbah dengan biofilter "up flow" ini terdiri dari bak pengendap, ditambah dengan beberapa bak biofilter yang diisi dengan media kerikil atau batu pecah, plastik atau media lain. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik Bak pengendap terdiri atas 2 ruangan, yang pertama berfungsi sebagai bak pengendap pertama, sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur sedangkan ruang kedua berfungsi sebagai pengendap kedua dan penampung lumpur yang tidak terendapkan di bak pertama, dan air luapan dari bak pengendap dialirkan ke media filter dengan arah aliran dari bawah ke atas.


Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-organisme. Mikro-organisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap. Air luapan dari biofilter kemudian dibubuhi dengan khlorine atau kaporit untuk membunuh mikroorganisme patogen, kemudian dibuang langsung ke sungai atau saluran umum.


Proses Pengolahan Dengan Sistem Biofilter Anaerob-Aerob


Proses ini pengolahan dengan biofilter anaerob-aerob ini merupakan pengembangan dari proses biofilter anaerob dengan proses aerasi kontak Pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob terdiri dari beberapa bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob, bak pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak kontaktor khlor.


Pengolahan dengan Sistem Aerasi Kontak


Proses pengolahan air limbah dengan aerasi ini merupakan pengembangan dari proses lumpur aktif dan proses biofilter. Pengolahan air limbah dengan proses aerasi kontak ini terdiri dari dua bagian yakni pengolahan primer dan pengolahan sekunder.


a. Pengolahan Primer


Pada pengolahan primer ini, air limbah dialirkan melalui saringan kasar (bar screen) untuk menyaring sampah yang berukuran besar seperti sampah daun, kertas, plastik dll. Setelah melalui screen air limbah dialirkan ke bak pengendapan awal, untuk mengendapkan parikel lumpur, pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungsi sebagai bak pengontrol aliran.


b. Pengolahan Sekunder


Proses pengolahan sekunder ini terdiri dari bak kontaktor anaerob (Anoxic) dan bak kontaktor aerob. Air limpasan dari bak pengendapan awal dipompa dan dialirkan ke bak penenang, kemudian dari bak penenang air limbah mengalir ke kontaktor anaerob dengan arah aliran dari bawah ke atas (Up Flow). Di dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil/batu split. Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah. Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak aerasi. Di dalam bak aerasi ini diisi dengan media dari bahan platik (Polyethylen), batu apung atau bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada di dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan dengan mikro-orgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik. Proses ini sering dinamakan Aerasi Kontak (Contact Aeration).


Pengolahan dengan Sistem Kolam Aerasi atau Kolam Stabilisasi


Sistem pengolahan air limbah “kolam stabilisasi” adalah memenuhi semua kriteria tersebut diatas kecuali masalah lahan yang diperlukan, sebab untuk kolam stabilisasi memerlukan lahan yang cukup luas, maka biasanya sistem ini dianjurkan untuk rumah sakit di pedalaman (di luar kota) yang biasanya masih tersedia lahan yang cukup. Sistem ini hanya terdiri dari bagian-bagian yang cukup sederhana yakni :


    a. Pump (Pompa air kotor)
    b. Stabilization Pond (Kolam Stabilisasi) biasanya 2 buah
    c. Bak klorinasi
    d. Control Room (Ruangan untuk Kontrol)
    e. Inlet
    f. Interconnection antara 2 kolam stabilisasi
    g. Outlet dari kolam stabilisasi menuju ke sistem chlorinasi (Bak Chlorinasi)



Anaerobic Filter Treatment System


Proses pengolahan anaerobik yaitu proses pengolahan air yang menggunakan organisme yang aktif dimana oksigen tidak ada dan proses ini ditunjukkan oleh proses fermentasi metan. Sebagai hasil fermentasi metan oleh bakteri anaerobik zat organik yang komplek seperti karbohidrat, lemak dan protein dibusukkan ke dalam metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2).


Proses pengolahan anaerobik biasanya digunakan untuk mengolah air limbah yang konsentrasinya tinggi atau lumpur, seperti pengolahan pada kotoran manusia atau air limbah dari proses fermentasi alkohol dari tetes. Pada umumnya air limbah yang di proses dengan pengolahan anaerobik dilanjutkan dengan pengolahan aerobik.


Sistem Anaerobic Treatment terdiri dari komponen-komponen antara lain sebagai berikut :


    a. Pump Sump (Pompa Air kotor)
    b. Septic Tank (Inhoff Tank)
    c. Anaerobic Filter
    d. Stabilization Tank (Bak Stabilisasi)
    e. Chlorination Tank (Bak Chlorinasi)
    f. Sludge Drying Bed (Tempat Pengeringan Lumpur)
    g. Control Room (Ruang Control)



Sesuai dengan debit air buangan dari rumah sakit yang juga tergantung dari besar kecilnya rumah sakit atau jumlah tempat tidur, maka konstruksi anaerobic Filter Treatment System dapat disesuaikan dengan kebutuhan tersebut misalnya :


    a. Volume Septic Tank
    b. Jumlah Anaerobik Filter
    c. Volume Stabilization Tank
    d. Jumlah Chlorinasi Tank
    e. Jumlah Sludge drying bed
    f. Perkiraan luas lahan yang diperlukan.



Persyaratan Limbah Cair Rumah Sakit


Menurut Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit, limbah cair rumah sakit harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Limbah cair harus dikumpulkan dalam kontainer yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpangannya.
  2. Saluran pembungan limbah harus menggunakan sistem saluran tertutup, kedap air dan limbah harus mengalir dengan lancar serta terpisah dengan saluran air hujan.
  3. Rumah sakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri atau bersama-sama secara kolektif dengan bangunan disekitarnya yang mememnuhi persyaratan teknis, apabila belum ada atau tidak terjangkau sistem pengolahan air limbah perkotaan.
  4. Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit harian limbah yang dihasilkan
  5. Air limbah dari dapur harus dilengkapi penangkap lemak dan saluran air limbah harus dilengkapi/ditutup dengan grill.
  6. Air limbah yang berasal dari laboratorium harus diolah di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), bila tidak mempunyai IPAL harus dikelola sesuai kebutuhan yang berlaku melalui kerjasama dengan pihak lain atau pihak yang berwenang.
  7. Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) dilakukan setiap bulan sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  8. Rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena zat radioaktif, pengelolaanya dilakukan sesuai ketentuan BATAN
  9. Parameter radioaktif diperlukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan.
sumber:http://staypublichealth.blogspot.com/2012/11/pengelolaan-limbah-rumah-sakit.html#sthash.1OGBH9Bw.dpuf

Bioremediasi

Bioremediasi

Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.

Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.

Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.

Jenis-jenis bioremediasi
Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:
  • Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
  • Bioaugmentasi
Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.
  • Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.


Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme rekombinan tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan

Faktor Lingkungan yang Berpengaruh
  • pH. Pada tanah umumnya merupakan lingkungan asam, alkali sangat jarang namun ada yang melaporkan pada pH 11. Penyesuaian pH dr 4.5 menjadi 7.4 dengan penambahan kapur meningkatkan penguraian minyak menjadi dua kali. Penyesuaian pH dapat merubah kelarutan, bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan, dan makro & mikro nutrien. Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+, N dan P akan turun, sedangkan penurunan pH menurunkan ketersediaan NO3- dan Cl- . Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam akan lebih berperan dibandingkan bakteri asam.
  • Kadar H2O dan karakter geologi. Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada bioremediasi. Nilai aktivitas air dibutuhkan utk pertumbuhan mikroba berkisar 0.9-1.0, umumnya kadar air 50-60%. Bioremediasi lebih berhasil pada tanah yang poros.
  • Keberadaan zat nutrisi. Baik pada in situ & ex situ. Bila tanah yang dipergunakan bekas pertanian mungkin tak perlu ditambah zat nutrisi. Untuk hidrokarbon ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula dgn makro & mikro nutrisi yang lain.

9 Penemuan Jepang yang Sia-sia

9 Penemuan Jepang yang Sia-sia


Siapa bilang jepang selalu menemukan barang2 yang berguna, yang memiliki teknologi canggih dan memiliki nilai guna yang tinggi. Jepang juga kadang2 menemukan sesuatu yang boleh dibilang konyol, atau mungkin malah jadi ribet dan aneh.

Dulu beberapa penemuan ini sempat muncul, dan dianggap sebagai penemuan jepang yang sia-sia/percuma (useless japanese invention), berikut beberapa penemuan percuma itu:

1. Korek Api Matahari

Kudu siang, nunggu lama, barangnya gede. wah malah repot nih.

2. Alat Berkebun 10 in 1

sepuluh alat jadi satu sih emang bagus, tapi kalo bentuknya gitu, pakenya kan malah susah.

3. Topi Payung

Kan gak nyaman ya..

4. Dasi Serbaguna

Mana ada nyimpen barang2 begituan di dasi, dipake 1 minggu, pasti bungkuk, keberatan.

5. Kamera Panorama 360 Derajat

hahaha, susah bener nih, mending sekarang pake video aja kali ya.

6. Alat Pembunuh Kecoa Sekaligus Sandal

ribet banget, aneh, sendal mah sendal aja, buat mukul kecoak trus maksa ada gagangnya.

7. Tadah Hujan Pribadi

sayang buang2 air hujan? pake aja ini, gak basah dan dapet air gratis. hehehe.

8. Penyedia Oksigen Murni

mau dapet oksigen, langsung aja ambil dari sumbernya. sedot langsung! jangan dipake malam hari, bisa mati ntar (keracunan CO2)

9. Pelindung Rambut Saat Makan Mie
dari semua yang diatas, kayaknya ini yang paling berguna deh, tapi tetep aja aneh, dan sebenarnya bisa diatasi pake cara lain.