Tuesday 21 January 2014

15 HAL TERGILA DIDUNIA

1. Volcanic lightning aka “dirty thunderstorms.”

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 1 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist
the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 2 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

2. Frozen air bubbles in Abraham Lake.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 3 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

3. Underground natural springs in Mexico.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 4 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

4. Giant crystal cave in Nacia, Mexico.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 5 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

5. Shimmering shores of Vaadhoo, Maldives.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 6 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

6. Reflective salt flats in Bolivia.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 7 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

7. Light pillars over Moscow.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 8 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

8. Natural salt water fountain off the coast of Oregon.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 9 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

9. Beautiful sandstone formations in Arizona.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 10 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist
10. Rainbow Eucalyptus trees in Kailua, Hawaii.
the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 11 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist
the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 11 2 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

11. The Blood Falls in Antartica.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 12 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

12. Spiderweb cocooned trees in Pakistan.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 13 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist
the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 13 2 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

13. Giant clouds over Beijing.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 141 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist
the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 14 11 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

14.  The underwater forest of Lake Kaindy.

the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 15 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist
the 15 craziest things in nature you wont believe actually exist 15 2 The 15 Craziest Things In Nature You Won’t Believe Actually Exist

15. Lake Hillier, Australia

Monday 20 January 2014

KUALITAS AIR DAN PARAMETER KUALITAS AIR

Kualitas Air
    1. Pengertian Kualitas Air
            Kualitas air adalah kondisi kalitatif air yang diukur dan atau di uji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis(Masduqi,2009).
            Menurut Acehpedia (2010), kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (bau dan warna). Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemaliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kondisi air tetap dalam kondisi alamiahnya.

    2. Hubungan Antar Kualitas Air
            Menurut Lesmana (2001), suhu pada air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia, baik dalam media luar maupun dalam tubuh ikan.  Suhu makin naik, maka reaksi kimia akan ssemakin cepat, sedangkan konsentrasi gas akan semakin turun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran dan tidak toleran. Naiknya suhu, akan berpengaruh pada salinitas, sehingga ikan akan melakukan prosess osmoregulasi. Oleh ikan dari daerah air payau akan malakukan yoleransi yang tinggi dibandingkan ikan laut dan ikan tawar.
            Manurut Anonymaus(2010), laju peningkatan pH akan dilakukan oleh nilai pH awal. Sebagai contoh : kebutuhan jumlah ion karbonat perlu ditambahkan utuk meningkatkan satu satuan pH akan jauh lebih banyak apabila awalnya 6,3 dibandingkan hal yang sama dilakukan pada pH 7,5. kenaikan pH yang  akan terjadi diimbangi oleh kadar Co2 terlarut dalan air. Sehingga, Co2 akan menurunkan pH.


  3. Parameter Kualitas Air
       3.1 Parameter Fisika
a) Kecerahan
            Kecerahan adalah parameter fisika yang erat kaitannya dengan proses fotosintesis pada suatu ekosistem perairan. Kecerahan yang tinggi menunjukkan daya tembus cahaya matahari yang jauh kedalam Perairan.. Begitu pula sebaliknya(Erikarianto,2008).
            Menurut Kordi dan Andi (2009), kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan kedalam air dan dinyetakan dalam (%). Kemampuan cahaya matahari untuk tembus sampai kedasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan (turbidity) air. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih, baik untuk kehidupan ikan dan udang budidaya.

b) Suhu 
            Menurut Nontji (1987), suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian- pengkajian kaelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika didalam laut, tetapi juga dengan kaitannya kehidupan hewan atau tumbuhan. Bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk pengkajian meteorologi. Suhu air dipermukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor- faktor metereolohi yang berperan disini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan radiasi matahari.
            Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran organisme baik dilautan maupun diperairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan biota air. Secara umum, laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan hewan budidaya bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim(drastis)(Kordi dan Andi,2009).

3.2 Parameter Kimia
a) pH
            Menurut Andayani(2005), pH adalah cerminan derajat keasaman yang diukur dari jumlah ion hidrogen menggunakan rumus pH = -log (H+). Air murni terdiri dari ion H+dan OH- dalam jumlah berimbang hingga Ph air murni biasa 7. Makin banyak banyak ion OH+ dalam cairan makin rendah ion H+ dan makin tinggi pH. Cairan demikian disebut cairan alkalis. Sebaliknya, makin banyak H+makin rendah PH dan cairan tersebut bersifat masam. Ph antara 7 – 9 sangat memadai kehidupan bagi air tambak. Namun, pada keadaan tertantu, dimana air dasar tambak memiliki potensi keasaman, pH air dapat turun hingga mencapai 4.
            pH air mempengaruhi tangkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah( keasaman tinggi),  kandungan oksigan terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas naik dan selera makan akan berkurang. Hal ini sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini, maka usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 – 9.0 dan kisaran optimal adalah ph 7,5 – 8,7(Kordi dan Andi,2009).

b) Oksigan Terlarut / DO
            Mnurut Wibisono (2005), konsentrasi gas oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, makin tinggi suhu, makin berkurang tingkat kelarutan oksigen. Dilaut, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen / DO) berasal dari dua sumber, yakni dari atmosfer dan dari hasil proses fotosintesis fitoplankton dan berjenis tanaman laut. Keberadaan oksigen terlarut ini sangat memungkinkan untuk langsung dimanfaatkan bagi kebanyakan organisme untuk kehidupan, antara lain pada proses respirasi dimana oksigen diperlukan untuk pembakaran (metabolisme) bahan organik sehingga terbentuk energi yang diikuti dengan pembentukan Co2 dan H20.
            Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernafasannya harus terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehinnga bila ketersediaannya didalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segal aktivitas biota akan terhambat. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang terandung pada metabolisme ikan(Kordi dan Andi,2009).

C) CO2
            Karbondioksida (Co2), merupakan gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air renik maupun tinhkat tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Meskipun peranan karbondioksida sangat besar bagi kehidupan organisme air, namun kandungannya yang berlebihan sangat menganggu, bahkan menjadi racu secara langsung bagi biota budidaya, terutama dikolam dan ditambak(Kordi dan Andi,2009).
            Meskipun presentase karbondioksida di atmosfer relatif kecil, akan tetapi keberadaan karbondioksida di perairan relatif banyak,kerana karbondioksida memiliki kelarutan yang relatif banyak.

d) Amonia
            Makin tinggi pH, air tambak/kolam, daya racun amnia semakin meningkat, sebab sebagian besar berada dalam bentuk NH3, sedangkan amonia dalam molekul (NH3) lebih beracun daripada yang berbentuk ion (NH4+). Amonia dalam bentuk molekul dapat bagian membran sel lebih cepat daripada ion NH4+ (Kordi dan Andi,2009).
            Menurut Andayani(2005), sumber amonia dalam air kolam adalah eksresi amonia oleh  ikan dan crustacea. Jumlah amonia yang dieksresikan oleh ikan bisa diestimasikan dari penggunaan protei netto( Pertambahan protein pakan- protein ikan) dan protein prosentase dalam pakan dengan rumus :
Amonia – Nitrogen (g/kg pakan) = (1-0- NPU)(protein+6,25)(1000)
Keterangan :  NPU : Net protein Utilization /penggunaan protein netto
                        Protein : protein dalam pakan
                        6,25 : Rati rata-rata dari jumlah nitrogen.

e) Nitrat nitrogen
            Menurut Susana (2002), senyawa kimia nitrogen urea (N-urea) ,algae memanfaatkan senyawa tersebut untuk pertumbuhannya sebagai sumber nitrogen yang berasal dari senyawa nitrogen-organik. Beberapa bentuk senyawa nitrogen (organik dan anorganik) yang terdapat dalam perairan konsentrasinya lambat laun akan berubah bila didalamnya ada faktor yang mempengaruhinya sehingga antara lain akn menyebabkan suatu permasalahan tersendiri dalam perairan tersebut.
            Menurut Andayani(2005), konsentasi nitrogen organik di perairan yang tidak terpolusi sangat beraneka ragam. Bahkan konsentrasi amonia nitrogen tinggi pada kolam yang diberi pupuk daripada yang hanya biberi pakan. Nitrogen juga mengandung bahan organik terlarut. Konsentrsi organik nitrogan umumnya dibawah 1mg/liter pada perairan yang tidak polutan. Dan pada perairan yang planktonya blooming dapat meningkat menjadi 2-3 mg/liter.

f) Orthophospat
            Menurut Andayani (2005), orthophospat yang larut, dengan mudah tesedia bagi tanaman, tetapi ketersediaan bentuk-bentuk lain belum ditentukan dengan pasti. Konsentrasi fosfor dalam air sangat rendah : konsentasi ortophospate yang biasanya tidak lebih dari 5-20mg/liter dan jarang melebihi 1000mg/liter. Fosfat ditambahkan sebagai pupuk dalam kolam, pada awalnya tinggi orthophospat yang terlarut dalam air dan konsentrasi akan turun dalam beberapa hari setelah perlakuan.
            Menurut Muchtar (2002), fitoplankton merupakan salah satu parameter biolagi yang erat hubungannya dengan fosfat dan nitrat. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton disuatu perairan tergantung tergantung pada kandungan zat hara fosfat dan nitrat. Sama halnya seprti zat hara lainnya, kandungan fosfat dan nitrat disuatu perairan, secara alami terdapat  sesuai dengan kebutuhan organisme yang hidup diperairan tersebut.


 4. Kualitas Air yang Baik
            Menurut O-fish (2010), ada lima syarat utama kualitas air yang baik untuk kehidupan ikan :
 Rendah kadar amonia dan nitrit
 Bersih secara kimiawi
 Memiliki pH, kesadahan, dan temperatur yang memadai
 Rendah kadar cemaran organik
 Stabil
Apabila persyaratan tersebut diatas dapat dijaga dan dipelihara dengan baik, maka ikan yang dipelihara mampu memelihara dirinya sendiri, terbebas dari berbagai penyakit, dan dapat berkembang biak dengan baik.
            Menurut Agromedia(2007), air yang baik untuk pertumbuhan lele dumbo adalah air bersih  yang berasal dari sungai, air hujan, dan air sumur. Pemanfaatan sumber air harus harus dikelola dengan baik terutama kualitas dan kuantitas. Kualitas air sangat mendukung pertumbuhan lele dumbo. Oleh karena itu, aor yang digunakan harus banyak mengandung zat hara, serta tidak tercemar olah racun dan zat rumah tangga lainnya.

5. Efek Kualitas Air
            Air dari alam atau natural water secara foundamental akan berbeda kondisinya dengan air dari tempat budidaya, terutama sistem tertutup yang menggunakan akuarium atau bak, berdasarkan sifat kimia maupun biologi. Jumlah ikan ditempat budidaya umumnya jauh lebih banyak dibandingkan jumlah air. Akibatnya, material hasil metrabolisme yang dikeluarkan ikan tidak dapat mengurai seimbang. Artinya, waktu penguraian metabolit secara alami tidak mencukupi karena jumlahnya cukup banyak. Oleh karena itu, air tidak dapat atau sulit kembali menjadi baik dan cenderung menghasilkan substannsi atau bahan metabolit yang berbahaya bagi ikan(Lesmana,2001).
            Menurut O-fish(2010), kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang dikaitkan dengan suatu kagiatan atau keperluan tertentu. Dalam lingkup akuarium, kulitas air secara umum mengacu pada kandungan polutan atau cemaran yang terkandung dalam air dalam kaitannya untuk menunjang kehidupan ikan dan kondisi ekosstem yang memadai.
            Menurut Susanto(2002), suatu  limbah yang mengandung beban pencemar masuk ke lingkungan perairan dapat menyebabkan perubhan kualitas air. Salah satu efeknya adalah menurunya kadar oksigen terlarut yang berpengaruh terhadap fungsi fisiologis organisme akuatik. Air limbah memungkinkan mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit infeksi dan tersebar ke lingkungan

2. Kebijakan Penentuan Kualitas Air Serta Sanksi Bagi Pelaku Pencemaran Dan Tanggung Jawab Negara Mengantisipasi Pencemaran Air

 

Air bukanlah produk dari suatu hasil komersialisasi seperti halnya barang yang lain, namun lebih condong disebut sebagai warisan yang harus dilindungi, dipertahankan, dan diperlakukan dengan benar

Air merupakan hajat hidup kita. Kita meminumnya untuk mempertahankan hidup. Kita mencuci dengan air. Air pula adalah hal yang utama bagi pertanian dalam hal pengairan persa-wahan, dan juga bagi peternakan. Air dalam perindustrian digunakan selain sebagai bagian dari proses produksi juga dipakai sebagai pendingin. Selain itu, air menyediakan habitat hidup bagi ikan dan binatang air lainnya. Disamping itu memiliki peran psikologis yang penting dalam hal menyediakan area rekreasi juga bagi keindahan alam. Sebagai tambahan, air memiliki peran yang sangat penting pula dalam proses dan membuang limbah yang berasal dari domestik atau perindustrian. Pembua-ngan limbah padat atau cair ke perairan dapat menimbulkan pencemaran air. Pencemaran air dapat muncul dalam berbagai macam cara. Bahan-bahan seperti limbah kotoran domestik, bahan kimia, deterjen adalah pencemaran yang umum dibuang ke perairan apakah itu disengaja atau tidak disengaja.. Perta-nian juga salah satu penyebab utama dalam pencemaran air dalam hal penggunaan pestisida atau pupuk yang berbahan kimia, disamping limbah industri, yaitu sisa produksi yang ber-bentuk zat cair yang dibuang melalui pipa-pipa perusahaan ke saluran air umum. Akibat pencemaran air pada  saluran air ini dapat menyebabkan kerusakan atau timbul penyakit bagi binatang serta tetumbuhan air, termasuk manusia.
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang lautnya meliputi dua per tiga wilayah nasionalnya, dan memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia, dan juga dikenal sebagai negara bahari, memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk melindungi perairannya dari pencemaran air. Untuk itu pengaturan hukum lingkungan yang ada harus bersifat terpadu dan komprehensif. Selain itu, juga diperlukan penerapan prinsip-prinsip hukum pencemaran lintas batas nasional dalam peraturan perundang-undangan yang diatur secara integratif.
Namun demikian aturan hanya tinggal aturan apabila tidak disertai dengan penegakan hukum. Penegakan Hukum dalam mengatasi pelaku pence-maran air memiliki peran yang sangat penting, untuk menimbulkan efek jera (ultimum remedium). Hal ini perlu dilakukan untuk memunculkan wibawa hukum, yang diharapkan dapat mem-bawa perubahan mendasar sikap masyarakat untuk berperan serta dalam setiap gerak pembangunan nasional. Makna inilah yang disodorkan Mochtar Kusumaatmadja yang mengadopsi pemi-kiran Roscoe Pound tentang “law as a tool of social engineering” yaitu hukum sebagai sarana perekayasa masyarakat, yang mendorong penciptaan aturan perundang-undangan dan yurisprudensi. (Otje Salman, dan Eddy Damian, 2002).
Pemberantasan pencemaran air ternyata tidak mudah, hal ini karena kenyataannya banyak tipe perairan seperti sungai, kolam, danau, dan laut yang memiliki kapasitas yang berbeda dalam menyerap dan penyebaran polusi (air). Sebagai contoh, sungai yang memiliki kemampuan lebih dalam memurnikan air yang tercemar karena mikro organisme yang terdapat dalam sungai disamping efek matahari dan aerasi udara, apabila dibandingkan dengan kolam kecil (rawa). Oleh kare-nanya, pembuangan limbah ke sungai dalam batas-batas tertentu masih bisa ditolerir. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan pembuangan limbah ke sungai merupakan hal yang disukai dan dianggap efektif. Sebab biaya yang dikeluarkan sangat murah, bahkan tanpa biaya sama sekali. Ini menjadi persoalan dalam pembuatan aturan, sejauh mana larangan pembuangan limbah ke sungai itu bisa menjamin kemampuan sungai dalam mengabsorsi dan menyebarkan limbah. Atau dengan kata lain, apa ukuran bahwa suatu sungai itu tercemar oleh limbah. Padahal disisi lain, sungai pada umumnya di Indonesia, khususnya di kota besar adalah penyedia bahan baku air minum yang diselenggarakan oleh Perusahaan Air Minum Daerah. Sehingga bila sungai dicemari, akan berdampak langsung pada kehidupan manusia.
Sehingga adalah hal sangat penting dalam mengendalikan pence-maran air, khususnya di sungai. Tinda-kan yang diharapkan, tentunya adalah menghentikan sumber pencemaran. Namun itu sulit, sebab secara alami manusia akan menerbitkan limbah, oleh karenanya mengendalikan sumber polu-tan dengan melihat kemampuan sungai atau perairan dalam mengabsorsi dan mendispersikan polutan itu menjadi isu utama, yang perlu diatur oleh seorang regulator peraturan.
Oleh karena itu upaya pence-gahan pencemaran air secara langsung, atau upaya pembatasan pembuangan limbah, serta bagaimana cara member-sihkan perairan dari limbah, serta sanksi yang diberikan bagi poluter, dan memas-tikan tindakan itu tidak diulangi dan membayar biaya pembersihan, dan juga memberikan kompensansi bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat pence-maran.
Untuk itu pengaturan pembua-ngan kotoran ke saluran air merupakan hal yang menjadi perhatian dalam pengendalian pencemaran air.
Masyarakat Eropa (EC), memi-liki semboyan dalam pengaturan air sebagai berikut :
“Air bukanlah produk dari suatu hasil komersialisasi seperti halnya barang yang lain, namun lebih condong disebut sebagai warisan yang harus dilindungi, dipertahankan, dan diperlakukan dengan benar”.
Harapan yang terkandung dalam semboyan tersebut adalah pengaturan penggunaan air dan kualitas air yang digunakan masyarakat, dalam suatu atu-ran sederhana dan terintegrasi, yang melindungi air baik yang berada diper-mukaan maupun bawah tanah, dari segala bentuk pencemaran yang akan, dan pasti timbul akibat pemanfaatan air. Untuk itu perlu dibuat aturan yang ber-kenaan dengan:
·         Pencegahan kerusakan lebih lanjut dari lingkungan air dan melindungi, dan meningkatkan kualitas air.
·         Peningkatan penggunaan air secara terus menerus, berdasarkan perlin-dungan jangka panjang dari sumber daya air yang ada.
·         Pengurangan bahkan menghentikan (sedapat mungkin) penyebab limbah berbahaya bagi perairan
·         Pengurangan polusi air tanah
·         Pengurangan akibat banjir dan keke-ringan. (Justine Thornton & Silas Beckwith, 2004).

Pengaturan air pertama kali harus dimulai dari saluran air yang mengarah ke sungai, yang kemudian harus diklasifikasikan berdasarkan ting-kat pencemaran, apakah itu baik sekali, baik, cukup, buruk dan buruk sekali. Dalam pengelolaan manajemen sungai, hal itu harus ditetapkan untuk mencapai tingkatan status baik untuk setiap per-airan sungai. Ini untuk menjaga status dan kualitas sungai, sebab ini akan berdampak pada manusia, binatang dan tumbuhan yang menggantungkan hidup-nya pada perairan seperti sungai terse-but. Pengaturan itu lebih lanjut harus memastikan status baik itu tetap terjaga.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah:
·         Status ekologi dari sungai, ini berkaitan dengan kualitas dari komunitas biologi, karakteristis kimia dan hidrologi.
·         Status kimia, ini berkenaan dengan standar minimum kandungan kimia yang terdapat dalam sungai. Tentu saja penentuan standar bagus atau tidak didapat dari suatu hasil penelitian sebelumnya tentang kan-dungan kimia suatu perairan.
·         Sasaran lainya.

Pengaturan ini diharapkan me-nyediakan tingkat perlindungan yang tinggi dari perairan semacam sungai ini. Perlindungan lain yang termasuk dalam pengaturan air, adalah perlindungan bagi air tanah, pengurangan terhadap bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan.
Pengaturan tentang pengairan selanjutnya diatur dalam UU No. 11 Tahun 1974, yang menganut asas lestari. Namun sayang konsep pencemaran air dalam undang-undang ini belum dida-sarkan pada konsep baku mutu yang diperlukan bagi penetapan peruntukan lingkungan sehingga pengaruhnya pada lingkungan belum dapat diukur. (Daud Silalahi, 1996).
Ironisnya pada tahun 1970-an telah lahir prinsip-prinsip ekologi yang telah dideklarasikan dalam Stockholm Declaration, yang mengatur ukuran mengenai pencemaran atau kerusakan lingkungan, termasuk sumber daya alam hayati. Sehingga seharusnya dalam UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan ini seyogyanya prinsip-prinsip dalam Stockholm Declaration dapat diadopsi.
Penegakan hukum terhadap pencemaran air
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya berkenaan dengan perlunya aturan hukum mengenai perlindungan terhadap pencemaran air, maka pene-gakan hukumnya pun tak kalah pentingnya. Khususnya untuk mence-gah, dan mengkriminalisasi suatu per-buatan yang dikategorikan sebagai per-buatan pencemaran air, dan pemberian sanksi bagi pencemar bagi wilayah air yang dikendalikan dari pencemaran. Adapun wilayah air yang harus dikenda-likan dari pencemaran terdiri atas:
·         wilayah air yang relevan, yaitu batas perairan wilayah sejauh 12 mil dari surutnya pantai (teritorial water)
·         perairan pantai
·         zona perikanan, ini termasuk danau, waduk, dan saluran air lainnya
·         air tanah. (Justine Thornton & Silas Beckwith, 2004).

Wilayah-wilayah tersebut, harus terhindar dari berbagai macam zat pen-cemar apakah yang bersifat padat atau cair.
Apabila mengacu pada keten-tuan Pasal 17 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, secara umum diatur tentang kewajiban pengelolaan bahan-bahan berbahaya, sedangkan pada Pasal 16 ditekankan mengenai tanggung jawab pengelolaan limbah bagi siapapun yang menjadi penanggung jawab suatu kegiatan usaha.
Pelanggaran atas pencemaran perairan mengakibatkan tanggung jawab mutlak bagi si pelaku, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 Ayat 1 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, dan itu mewajibkan bagi pelaku pencemaran (dalam hal ini pencemaran air), dikenakan kewajiban untuk membayar ganti rugi secara lang-sung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran, apakah itu secara sengaja atau karena kealpaan dengan denda dari Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp. 750.000.000,- disamping pidana penjara. Adapun pengaturan lebih lanjut tentang sanksi ini diatur dalam Pasal 41 – 48 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup.
Alternatif penerapan sanksi lainnya adalah sanksi perdata, yaitu berupa ganti rugi kepada penderita dan biaya pemulihan kepada negara (Pollu-ter pays principle). Prinsip ini meru-pakan bentuk kebijaksanaan lingkungan dan jalan keluar bagi kasus pencemaran pada umumnya di negara maju. Artinya meskipun telah dilakukan pembayaran ganti rugi terhadap penderita, pelaku pencemaran air tetap tidak terbebas dari kewajiban untuk membayar biaya pemulihan lingkungan yang telah rusak atau tercemar kepada negara. Karena negara memiliki fasilitas untuk melaku-kan pemulihan.
Tindakan Pencegahan
Membersihkan suatu perairan yang terkena pencemaran adalah sangat mahal, memakan waktu dan kemung-kinan memakan korban. Hal yang lebih baik yang dapat dilakukan adalah melakukan pencegahan, dengan mem-bangun sistem peringatan dini pence-maran.
Sistem yang dimaksud adalah pembuatan zona perlindungan perairan, yang dibuat berdasarkan undang-undang (peraturan), serta membuat perencanaan tentang pengendalian atau kontrol  per-airan dalam bentuk prosedur baku.
Upaya perlindungan perairan seperti yang dikemukakan diatas telah diterapkan oleh Kanada dengan mene-tapkan Artic Waters Act, 1970 yang memberikan perlindungan lingkungan laut hingga 100 mil dari garis dasar. Hal itu mereka buat berdasarkan anggapan tentang adanya state responsibility as a costal state to the international commu-nity in general; a resposibility to pro-hibit ships from using the seas in a way violate of reasonable standards. Disam-ping itu munculnya hak negara pantai terhadap pencemaran atas perairannya muncul berdasarkan hukum interna-sional umum.
Namun demikian, pencemaran terhadap perairan pasti akan selalu terjadi, dan seperti yang telah diuraikan dalam tulisan terdahulu, alam memiliki kemampuan untuk menyerap, mengu-raikan zat-zat pencemar tersebut sesuai dengan kapasitas yang dimiliki alam. Untuk itu negara bertanggung jawab untuk mengatur pula ambang batas (treshold) pencemaran sebagai ukuran tanggung jawab negara. Amerika dalam beberapa kasus seperti New York v New Jersey (USA, 1921) dan Kasus Georgia v Tennesse Copper (USA, 1906) menya-takan adanya tanggung jawab negara pada perlindungan lingkungan sebagai perwujudan dari konsep kedaulatan, dan pemerintah didorong untuk memperha-tikan moral issues that trascend ques-tion of jurisdiction and procedure. (Daud Silalahi, 1996).

 3. Pentingnya Kualitas Air dan Pelestariannya


Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan. Makhluk hidup di muka bumi ini tak dapat terlepas  dari kebutuhan akan air. Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, sehingga tidak ada kehidupan seandainya di bumi tidak ada air. Namun demikian, air  dapat menjadi malapetaka bilamana tidak tersedia dalam kondisi yang benar, baik  kualitas maupun kuantitasnya. Air yang relatif bersih sangat didambakan oleh manusia, baik untuk keperluan hidup  sehari-hari, untuk keperluan industri, untuk kebersihansanitasi kota, maupun untuk keperluan pertanian dan lain sebagainya.
Dewasa ini, air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk mendapat air yang baik sesuai dengan standar tertentu, saat ini  menjadi barang yang mahal, karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari berbagai hasil kegiatan manusia. Sehingga secara kualitas, sumberdaya air telah mengalami penurunan. Demikian pula secara kuantitas, yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.
Dari hari ke hari bila diperhatikan, makin banyak berita-berita mengenai pencemaran air. Pencemaran air ini terjadi dimana-mana. Di Teluk Jakarta terjadi pencemaran yang sangat merugikan bagi petambak. Tidak saja udang dan bandeng yang mati, tapi kerang hijaupun turut mati pula, beberapa jenis spesies ikan telah hilang. Secara kimiawi, pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta tersebut telah sangat parah. Indikasinya populasi kerang hijau berkembang lebih cepat dan semakin banyak, padahal hewan ini merupakan indikator pecemar. Kadar logam antara lain seng, tembaga dan timbal telah mencapai ambang batas normal. Kondisi ini sangat berbahaya, karena logam berat dapat diserap oleh manusia atau hewan yang memakannya dan akan terjadi akumulasi  (Republika, 17/02/03).  Di Waduk Saguling juga terjadi pencemaran logam berat(merkuri) dan kadar H2SO4 yang tinggi, sehingga pencemaran  ini sangat mempengaruhi ekonomi masyarakat sekitar, ribuan petani ikan mas jaring terapung di kawasan ini terancam gulung tikar karena produksi ikan turun terus (Pikiran Rakyat, 08/06/03). Selain itu, penggunaan pestisida yang berlebihan dan berlangsung lama, juga akan mengakibatkan pencemaran air.
Sebagai contoh, hal ini terjadi di NTB yang terjadi pencemaran karena dampak pestisida dan limbah bakteri e-coli. Petani menggunakan pestisida di sekitar mata air Lingsar dan Ranget (Bali Post, 14/8/03).
Krisis air juga terjadi di hampir semua wilayah Pulau Jawa dan sebagian Sumatera, terutama kota-kota besar baik akibat pencemaran limbah  cair industri, rumah tangga ataupun pertanian. Selain merosotnya kualitas air akibat pencemaran, krisis air juga terjadi dari berkurangnya ketersediaan air dan terjadinya erosi akibat pembabatan hutan di hulu serta perubahan pemanfaatan lahan di hulu  dan hilir. Menyusutnya pasokan air pada 3 beberapa sungai besar di Kalimantan menjadi fenomena yang mengerikan, sungai-sungai tersebut mengalami pendangkalan akibat minimnya air pada saat kemarau serta ditambah erosi dan sedimentasi. Pendangkalan di sungai Mahakam misalnya meningkat 300% selama kurun waktu 10 tahun terakhir (Air Kita Diracuni, 2004).
Pencemaran air di banyak wilayah di Indonesia, seperti beberapa contoh di atas, telah mengakibatkan terjadinya krisis air bersih. Lemahnya pengawasan pemerintah serta keengganannya untuk melakukan penegakan hukum secara benar menjadikan problem pencemaran air menjadi hal yang kronis yang makin lama makin parah
Indikator Pencemaran Air
Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi :
1.      Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa.
2.      Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut, perubahan pH.
3.      Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri pathogen.
Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemiycal Oxygen Demand, BOD) serta kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD).
pH atau Konsentrasi Ion Hidrogen
Air normal yang memenuhi syarat untuk  suatu kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5 – 7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH di bawah pH normal, maka air tersebut bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH di atas pH normal bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan industri akan mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik.
Sebagian besar biota akuatik sensitif  terhadap perubahab pH dan menyukai pH antara 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi  proses biokimiawi perairan , misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH yang rendah. Pengaruh nilai pH pada komunitas biologi perairan dapat dilihat pada table di bawah ini
Tabel : Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan
pH
Sumber : modifikasi Baker et al., 1990 dalam Efendi, 2003
Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas acidophila mampu bertahan pada pH =1 dan algae Euglena pada pH 1,6.
Oksigen terlarut (DO)
Tanpa adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa organic dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk proses  metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada temperature dan tekanan atmosfir.
Berdasarkan data-data temperature dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 25o C dan tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 1985).
Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah cukup banyak. Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Keberadaan logam berta yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi system respirasi organisme akuatik, sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita (Tebbut, 1992 dalam Effendi, 2003).
Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami  supersaturasi. Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari.
Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Dekomposisi bahan organic terdiri atas  2 tahap, yaitu terurainya bahan organic menjadi anorganik dan bahan anorganik yang tidak stabil berubah menjadi bahan anorganik yang stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit atau nitrat (nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap pertama ynag berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap sebagai zat pengganggu.
Dengan demikian, BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk  memecah (mendegradasi) bahan buangan organic yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air. Pada dasarnya, proses oksidasi bahan organic berlangsung cukup lama. Menurut Sawyer dan McCarty, 1978 (Effendi, 2003) proses penguraian bahan buangan organic melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme atau oleh bakteri aerobic adalah :
CnHaObNc   +  (n + a/4 – b/2 – 3c/4) O2              n CO2  +  (a/2 – 3c/2) H2O  +  c NH3
Bahan organic                   oksigen                     bakteri aerob   9
Untuk kepentingan praktis, proses oksidasi dianggap lengkap selama 20 hari, tetapi penentuan BOD selama 20 hari dianggap masih  cukup lama. Penentuan BOD ditetapkan selama 5 hari inkubasi, maka biasa disebut BOD5.   Selain memperpendek waktu yang diperlukan, hal ini juga dimaksudkan untuk meminimumkan pengaruh oksidasi ammonia yang menggunakan oksigen juga. Selama 5 hari masa inkubasi, diperkirakan 70% – 80% bahan organic telah mengalami oksidasi. (Effendi, 2003).
Jumlah mikroorganisme dalam air lingkungan tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang bersih relative mengandung mikroorganisme lebih sedikit dibandingkan yang tercemar. Air yang telah tercemar oleh bahan buangan yang bersifat antiseptic atau bersifat racun, seperti fenol, kreolin, detergen, asam cianida, insektisida dan sebagainya, jumlah mikroorganismenya juga relative sedikit.  Sehingga makin besar kadar BOD nya, maka merupakan indikasi bahwa perairan tersebut  telah tercemar, sebagai contoh adalah kadar maksimum BOD5 yang diperkenankan untuk kepentingan air minum dan menopang kehidupan organisme akuatik adalah 3,0 – 6,0 mg/L berdasarkan UNESCO/WHO/UNEP, 1992. Sedangkan berdasarkan Kep.51/MENKLH/10/1995 nilai BOD5 untuk baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri golongan I adalah 50 mg/L dan golongan II adalah 150 mg/L.

Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia  baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan  organic tersebut akan dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O serta sejumlah ion chrom.
Jika pada perairan terdapat bahan  organic yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnya tannin, fenol, polisacharida dansebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat organic dapat dioksidasi oleh oksidator  kuat seperti kalium permanganat dalam suasana asam, diperkirakan 95% – 100% bahan organic dapat dioksidasi.
Seperti pada BOD, perairan dengan  nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai  COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar  dapat lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat  mencapai 60.000 mg/L  (UNESCO,WHO/UNEP, 1992).
SUMBER PENCEMARAN AIR
Banyak penyebab sumber pencemaran air, tetapi secara umum dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA sampah, rumah tangga dan sebagainya. Sumber tak langsung adalah kontaminan yang memasuki badan air dari  tanah, air tanah atau atmosfir berupa hujan (Pencemaran  Ling. Online, 2003). Pada dasarnya sumber pencemaran air berasal  dari industri, rumah tangga (pemukiman) dan pertanian. Tanah dan air tanah mengandung sisa dari aktivitas  pertanian misalnya pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfir juga berasal dari aktifitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam.
Komponen Pencemaran Air 
Saat ini hampir 10 juta  zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000 zat kimia telah digunakan secara komersial. Kebanyakan sisa zat kimia tersebut dibuang ke badan air atau air tanah. Sebagai contoh  adalah pestisida yang biasa digunakan di pertanian, industri atau rumah tangga, detergen yang biasa digunakan di rumah tangga atau PCB yang biasa digunakan pada alat-alat elektronik.
Erat kaitannya dengan masalah indikator pencemaran air, ternyata komponen pencemaran air turut menentukan bagaimana indikator tersebut terjadi. Menurut Wardhana (1995), komponen pencemaran air yang berasal dari industri, rumah tangga (pemukiman) dan pertanian dapat dikelompokkan sebagai bahan buangan:
1.      padat
2.      cairan berminyak
3.      organic dan olahan bahan makanan
4.      berupa panas
5.      anorganik
6.      zat kimia
Bahan buangan padat
Yang dimaksud bahan buangan padat adalah adalah bahan buangan yang berbentuk padat, baik yang kasar atau yang halus, misalnya sampah. Buangan tersebut bila dibuang ke air menjadi pencemaran dan akan menimbulkan pelarutan, pengendapan ataupun pembentukan koloidal.
Apabila bahan buangan padat tersebut  menimbulkan pelarutan, maka kepekatan atau berat jenis air akan naik. Kadang-kadang pelarutan ini disertai pula dengan perubahan warna air. Air yang mengandung larutan pekat  dan berwarna gelap akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air. Sehingga proses fotosintesa tanaman dalam air akan terganggu. Jumlah oksigen terlarut dalam  air menjadi berkurang, kehidupan organisme dalam air juga terganggu.
Terjadinya endapan di dasar perairan akan sangat mengganggu kehidupan organisme dalam air, karena endapan akan menutup permukaan dasar air yang mungkin mengandung telur ikan sehingga tidak dapat menetas. Selain itu, endapan juga dapat menghalangi sumber makanan ikan dalam air serta menghalangi datangnya sinar matahari.
Pembentukan koloidal terjadi bila buangan tersebut berbentuk halus, sehingga sebagian ada yang larut dan sebagian lagi ada yang melayang-layang sehingga air menjadi keruh. Kekeruhan ini juga menghalangi penetrasi sinar matahari, sehingga menghambat fotosintesa dan berkurangnya kadar oksigen dalam air.

Bahan buangan organic dan olahan bahan makanan
Bahan buangan organic umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga  bila dibuang ke perairan akan menaikkan populasi mikroorganisme. Kadar BOD dalam hal ini akan naik. Tidak tertutup kemungkinan dengan berambahnya mikroorganisme dapat  berkembang pula bakteri pathogen yang berbahaya bagi manusia. Demikian pula untuk buangan olahan bahan makanan yang sebenarnya adalah juga  bahan buangan organic yang baunya lebih menyengat. Umumnya buangan olahan makanan mengandung protein dan gugus amin, maka bila didegradasi akan terurai menjadi senyawa yang mudah menguap dan berbau busuk (misal. NH3).
Bahan buangan anorganik
Bahan buangan anorganik sukar didegradasi oleh mikroorganisme, umumnya adalah logam. Apabila masuk ke perairan,  maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam dalam air. Bahan buangan anorganik ini biasanya berasal dari limbah industri yang melibatkan penggunaan unsure-unsur logam seperti timbal (Pb), Arsen (As), Cadmium (Cd), air raksa atau merkuri (Hg), Nikel (Ni), Calsium (Ca), Magnesium (Mg) dll.
Kandungan ion Mg dan Ca dalam air akan menyebabkan air bersifat sadah. Kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena dapat merusak peralatan yang terbuat dari besi melalui proses pengkaratan (korosi). Juga dapat menimbulkan endapan atau kerak pada peralatan.
Apabila ion-ion logam berasal dari logam berat maupun yang bersifat racun seperti Pb, Cd ataupun Hg, maka air yang mengandung  ion-ion logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia, air tersebut tidak layak minum.
Bahan buangan cairan berminyak
Bahan buangan berminyak yang dibuang ke air lingkungan akan mengapung menutupi permukaan air. Jika bahan buangan minyak mengandung senyawa yang volatile, maka akan terjadi penguapan dan luas permukaan minyak yang menutupi permukaan air akan menyusut. Penyusutan minyak ini tergantung pada jenis minyak dan waktu. Lapisan minyak pada permukaan air dapat terdegradasi oleh mikroorganisme tertentu, tetapi membutuhkan waktu yang lama.
Lapisan minyak di permukaan akan mengganggu mikroorganisme  dalam air. Ini disebabkan lapisan tersebut akan menghalangi diffusi oksigen  dari udara ke dalam air, sehingga oksigen terlarut akan berkurang.  Juga lapisan tersebut akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, sehingga fotosintesapun terganggu. Selain itu, burungpun ikut terganggu, karena bulunya jadi lengket, tidak dapat mengembang lagi akibat terkena minyak.

Bahan buangan berupa panas (polusi thermal)

Perubahan kecil pada temperatur air lingkungan bukan saja dapat menghalau ikan atau spesies lainnya, namun juga akan mempercepat proses biologis pada tumbuhan dan hewan bahkan akan menurunkan tingkat oksigen dalam air. Akibatnya akan terjadi kematian pada ikan atau akan terjadi kerusakan ekosistem. Untuk itu, polusi thermal inipun harus dihindari. Sebaiknya industri-industri jika akan  membuang air buangan ke perairan harus memperhatikan hal ini.

Bahan buangan zat kimia

Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya, tetapi dalam bahan pencemar air ini akan dikelompokkan menjadi :
a. Sabun (deterjen, sampo dan bahan pembersih lainnya).
b. Bahan pemberantas hama (insektisida),
c. Zat warna kimia,
d. Zat radioaktif





Parameter Kualitas Air
standar Mutu Air
Klasifikasi Air
Kualitas Air dan Kriterianya